Gus Irawan Pasaribu
Gus Irawan Pasaribu

 

JAKARTA, kaldera.id- Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu, mencermati rendahnya rasio pajak Indonesia atas Pendapatan Rasio Bruto (PDB). Dalam pantauannya, selama 10 tahun terakhir rasio pajak Indonesia tak pernah menyentuh 11 persen dan berbuntut pada jumlah utang yang makin melonjak.

“Selama hampir 10 tahun pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, rasio pajak kita tidak pernah mencapai level 11 persen,” katanya di Jakarta, Kamis (4/4/2024).

Menurut Gus Irawan Pasaribu, rasio pajak yang rendah menjadikan Indonesia di negara kawasan sebagai negara pengumpul pajak terlemah. Gus Irawan Pasaribu memaparkan menurut OECD rasio pajak Vietnam mencapai 22,7 persen, disusul kemudian Filipina 17,8 persen, Thailand 16,5 persen, Singapura 12,8 persen, dan Malaysia 11,4 persen.

“Bahkan Bank Dunia pernah menyebut rasio pajak Indonesia merupakan yang paling rendah dibandingkan negara-negara berkembang lainnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsekuensi penerimaan pajak yang rendah adalah semakin bertambahnya utang untuk membiayai pembangunan. Gus Irawan Pasaribu pun menyoroti rasio utang Indonesia seringkali disebut aman karena masih di bawah 30 persen dari PDB.

“Pernyataan ini mesti disampaikan secara kritis, karena besarnya utang harus dikaitkan pula dengan kemampuan perolehan pendapatan. Logika sederhananya, meski utang relatif tidak besar tetapi bila tingkat pendapatan atau kemampuan membayar rendah tentu saja sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Legislator Sumut ini menekankan agar pemerintahan yang akan datang dapat memperbaiki rasio pajak yang stagnan tersebut. Gus Irawan Pasaribu lantas mengingatkan diperlukan menjaga daya beli mengingat penerimaan PPN menyumbang porsi terbesar selain itu diperlukan juga pembenahan SDM.

“Syaratnya pemerintahan nanti harus tetap menjaga daya beli masyarakat, karena penerimaan PPN menyumbang porsi terbesar pajak, sebanyak 22,7 persen, selain itu kepatuhan pajak PPh badan harus ditingkatkan, pembenahan SDM perpajakan, dan pejabat publik yang bersih dari penghindaran pajak atau kepemilikan perusahaan di negara suaka pajak,” ungkapnya.