Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – LAPORAN Forum Ekonomi Dunia (WEF) berjudul Future of Work, beberapa tahun lagi revolusi teknologi diramal makin massif yang didorong oleh kecerdasan buatan dan otomasi. Catatan lembaga itu pada 2023 hingga 2027 sekitar 83 juta lapangan kerja berisiko hilang. Riset dalam laporan yang sama mencatat 23 persen tenaga kerja seluruh bidang bakal berubah total dalam lima tahun. Ada yang musnah dan ada profesi baru yang muncul.

WEF merilis ada 15 daftar pekerjaan yang akan hilang dalam rentang 2023-2027 diantaranya teller bank, petugas pos, kasir dan loket, sekretaris dan administrasi, staf akuntansi, pembukuan, dan payroll, legislator dan pejabat pemerintahan, staf statistik, asuransi, dan keuangan, satpam, manajer kredit dan pinjaman, relationship manager, dll.

Di samping itu, WEF merilis lapangan kerja yang akan terbuka diantaranya spesialis kecerdasan buatan (AI) dan machine learning, spesialis keberlanjutan (sustainability), analis business intelligence, analis keamanan sistem informasi, insinyur di bidang fintech, analis data dan data science, insinyur di bidang robot, spesialis big data serta profesi lain.

Hilangnya berbagai profesi itu menjadi perhatian penting bagi perguruan tinggi terutama tanggungjawab program studi menghasilkan lulusan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim pada 26 Oktober 2021 mengungkap, 80 persen mahasiswa Indonesia tidak bekerja sesuai jurusan kuliahnya. Berdasarkan data, hanya 27 persen lulusan perguruan tinggi yang memiliki pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliah atau bidang ilmu yang mereka geluti.

Lantas Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) Fakultas Teknik menyebutkan orang bergelar Sarjana Teknik atau insinyur profesional hanya 1,2 persen yang bekerja sesuai bidang keilmuannya. Artinya dari 10 lulusan di UI, menurut dia, hanya 3 atau 4 orang bekerja sesuai lulusan.

Semua data dan fakta itu mendorong program studi agar bisa meramalkan lapangan pekerjaan/profil lulusan seperti apa yang harus dihasilkan. Hal itulah salah satu yang ditekankan Ketua Senat Univesitas Negeri Medan (Unimed) Prof. Syawal Gultom saat memberi memberi arahan kepada seluruh unsur dekanat, terutama kepada ketua program studi yang ada di Fakultas Ekonomi. Kedatangannya bersama Rektor Unimed Prof. Baharuddin, Wakil Rektor I Dr. Abil Mansyur, Wakil Rektor III Prof. Marice serta Wakil Rektor IV Prof. Erond Litno Damanik.

Kedatangan Prof. Syawal Gultom ke FE Unimed terkait rancangan kurikulum OBE (outcome base education). Yang kira-kira terjemahan sederhananya lulusan Unimed seperti apa yang dibutuhkan dunia kerja dan stake holder pemakai jasa lulusan ke depan. Kurikulum OBE rencananya diterapkan serentak di Unimed awal 2025, kemudian diupload ke website dengan versi dua bahasa agar siapapun bisa melihat lulusan (output) yang dihasilkan semua program studi di Unimed.

Maka Jumat lalu, Prof. Syawal berkeliling ke beberapa fakultas termasuk ke Fakultas Ilmu Kependidikan, FE lalu setelahnya ke Pascasarjana. Maka di FE, dia hanya berbicara beberapa menit kemudian beranjak ke Pasca. Seperti biasa, dalam setiap paparannya Prof. Syawal akan banyak membuka wacana dan cara berpikir lebih luas. Saat itu, Prof. Syawal meminta agar salah satu prodi mempresentasikan kurikulum OBE yang dirancang. Dimulai dengan program studi akuntansi FE. Setelah dipaparkan, Prof. Syawal mengapresiasi apa yang telah dilakukan dalam penyusunan tersebut.

Namun dia menitikberatkan pada beberapa hal termasuk pada profil lulusan. Profil lulusan akuntasi di dokumen masih memunculkan akuntan profesional , konsultan bisnis dan perpajakan serta analis keuangan perusahaan dan pemerintah.

“Begini, kalau profesi yang dihasilkan lulusan seperti ini percayalah 10-15 tahun lagi juga akan hilang. Kalau profesi ini hilang, tutuplah prodi kita. Karena lulusannya tak dipakai lagi di luar. Dunia berkembang begitu cepat dan kita harus bisa meramalkan profesi apa yang harus disiapkan walaupun kita tidak tahu lapangan pekerjaan apa yang terbuka berpuluh-puluh tahun ke depan. Tapi kita wajib menyiapkannya,” kata dia.

Prof. Syawal menyinggung tak hanya soal hilangnya profesi akuntan tapi juga teller bank, analis kredit, dan lain-lain. “Ini saya sampaikan untuk semua prodi. Artinya ketua prodi harus cermat memproyeksi lulusan seperti apa yang masih diperlukan 20-25 tahun lagi walaupun profesi itu belum ada,” kata Prof. Syawal. Paparannya rada unik dan gimmick sebab ketua Prodi diminta memproyeksi lulusan yang siap kerja pada profesi yang kita belum tahu ke depan.

Tapi itulah perkembangan dunia. Pandemi covid-19 adalah bukti perubahan peradaban dunia dan banyaknya lapangan pekerjaan yang hilang namun tidak pernah diproyeksikan sebelumnya. “Ya ini memang rada-rada rumit. Lebih mudah menyelesaikan disertasi daripada menyiapkan kurikulum,” katanya.

Hanya saja Prof. Syawal membagikan ide agar penyelesaiannya lebih cepat. Yang pertama adalah program studi harus membuat perbandingan dan kajian kurikulum lama dengan rencana. Apa yang dibuat masa lalu dan apa masa sekarang, kemudian diproyeksikan seperti apa. Ada kajian masa lalu dan masa sekarang, katanya.

Kedua, program studi harus berinteraksi dengan pengguna jasa lulusan atau pa stake holder. Apa yang kurang dari lulusan kita, kemudian apa saja yang perlu diperbaiki dan stake holdern inginnya apa dari lulusan di Unimed.

Yang ketiga, bertanya kepada ahlinya. Contohnya program studi manajemen. Siapa pakar atau ahli manajemen yang diakui. Tanyakan ke dia apa yang dibutuhkan dari seorang lulusan manajemen, jelas Prof. Syawal. Keempat, menjadikan perguruan tinggi lain sebagai benchmark (acuan). Misalnya profil lulusan di Monash University Australia itu seperti apa? Kenapa mereka bisa menjamin lulusannya bisa bekerja sangat cepat. Kalau tidak ke perguruan tinggi luar negeri, bisa juga mengkaji profil lulusan universitas dalam negeri.

Kelima, menelusuri dengan literatur (artikel/jurnal/kajian, dan lain-lain) terkait profil lulusan seperti apa yang akan dibutuhkan di masa depan. Dengan acuan seperti itu, Prof. Syawal masih yakin prodi yang ada di Unimed akan tetap bertahan jika mengacu pada kebutuhan pasar.

Apa yang disampaikan Prof. Syawal Gultom ini sebenarnya bersamaan juga dengan yang dilakukan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) sebagai induk organisasi pengusaha di Indonesia. Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara sering saya ajak diskusi karena mereka juga ditugasi pemerintahi memiliki peran sentral dalam implementasi vokasi berbasis permintaan yang komprehensif dan terintegrasi.

Mereka ditugasi membenahi kurikulum di SMK melalui program vokasi. Artinya SMK bisa meluluskan sesuai kebutuhan industri. Selain SMK, Kadin juga bekerjasama dengan banyak perguruan tinggi memberi masukan terkait penyusunan kurikulum. Sebab mereka diamanahi Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi.

Dalam berbagai kesempatan Firsal Mutyara sering mengatakan kebutuhan industri dalam menyerap lulusan karena ketidaksesuian. Kurikulum yang diajarkan di SMK dan kampus tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dunia industri.

Karena itu pula sekarang Kadin Sumut diberi pertanggungjawaban oleh Pemprovsu ikut menyusun kurikulum di empat sekolah (SMK) dan mereka sedang sibuk membangun tim vokasi daearah memetakan lulusan dengan kebutuhan industri di wilayah kabupaten dan kota. Tujuannya agar lulusan yang dihasilkan punya kompetensi sesuai yang diharapkan.

Saya kira apa yang disampaikan Prof. Syawal Gultom dan Firsal Dida Mutyara ini bersamaan. Malah dalam istilah Prof. Syawal Gultom, dosen itu sekarang bukan pengajar tapi pelatih. Jika pelatih tentu dia harus lebih mahir dari anak didiknya. Karena kalimat Prof. Syawal ini pula saya jadi teringat dosen saya dulu mengajarkan teori ekonomi mikro tapi masih berkutat pada teori dan hitung-hitungan persamaan linier. Atau dosen saya yang dulu mengajar pasar modal tapi bermain saham pun dia tak pernah. Bagaimana kita bisa jadi pelatih kalau masih sepert itu?