Ads

Pak Wali, Medan Krisis Aturan Dan Kesantunan

redaksi
25 Jun 2025 11:04
Medan News 0 10
6 menit membaca

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – Tulisan ini tidak akan menagih janji program 100 hari kerja walikota dan wakil walikota Medan terpilih. Karena bagaimanapun wujud program 100 hari kerja itu sulit direalisaikan. Desakan untuk meminta bukti kinerja dalam waktu tiga bulan selalunya absurd. Tak nampak atau malah kabur.

Bagaimana mungkin kita menagih janji program kerja walikota dan wakil walikota terpilih dengan kondisi Medan yang seperti sekarang. Memang visi misi walikota dan wakil sudah mereka sampaikan saat kampanye. Tentu finalnya baru bisa ditagih 100 persen diujung masa kepemimpinan. Rencana dan janji itu biasanya lebih cenderung sebagai penarik simpati. Soal realisasi nanti dulu.

Wujud program 100 hari kerja itu pun tergantung kepada pemimpinnya. Secara nasional kita lihat betapa banyak desakan yang menuntut realisasi program presiden dan wakil presiden. Di daerah lain, seperti Jawa Barat dan Maluku Utara, pemimpinnya merealisasikan berbagai kebijakan publik secara terbuka dalam durasi tiga bulan ini.

Medan bagaimana? Jangan menuntut terlalu banyak. Tokh ditengah tuntutan menagih program 100 hari kerja, informasi yang kita dapat dari ‘intel rawa-rawa’ malah tersiar hubungan dan komunikasi antara walikota dan wakil walikota kabarnya mulai retak. Walaupun tidak terkonfirmasi secara detil tapi memang bisa kita lihat nyaris tak pernah walikota dan wakil walikota berjalan bersisian saling berkomunikasi. Tapi mana tahu setelah tulisan ini muncul mereka akan kompak lagi.

Tulisan ini juga tidak akan mengukur indikator kinerja, indikator makro ekonomi ataupun indikator layanan publik. Ada saatnya nanti tulisan itu saya munculkan. Saya hanya mau sampaikan bahwa tugas walikota dan wakil walikota Medan sangat berat. Bukan membangun fisik gedung, jalan atau proyek pembangunan. Tapi pada membangun karakter dan etika warga. Bentuknya ketidakdisiplinan dan nir-etika (kesantunan serta tata krama). Saya akan munculkan tiga hal saja yang cukup mengkhawatirkan kemudian menjadi problem sosial. Sehingga Pak Wali bisa lihat Medan ini krisis penegakan aturan dan kesantunan.

Pertama kita lihat kesemrawutan lalu lintas. Budaya, tertib dan disiplin lalulintas jatuh ke titik nadir atau di dasar jurang. Coba pak wali atau pak wakil berjalan di kawasan padat lalu lintas. Para pengendara begitu mudahnya melawan arah. Mengendarai dengan jalan dan caranya sendiri sesuka hati. Kita sudah berjalan di jalur yang benar lalu ada pengendara melawan arah. Karena kaget lalu kita klakson memperingatkan yang melawan arah, tapi malah dia yang memarahi kita. Bukan main.

Kedua, hampir di setiap persimpangan dan di patahan jalan muncul banyak sekali ‘petugas siluman’. Mereka mengatur lalu lintas sesukanya dengan memberi prioritas kepada pengendara yang membuka kaca dan menyerahkan uang pecahan 2.000 tanpa memperhatikan arus jalan lain yang sudah macet. Saya tidak tahu persis darimana saja petugas gadungan ini berdatangan. Karena sebagian ruas jalan yang mereka kuasai tak ada permukiman penduduk. Artinya mereka juga bukan pemuda setempat. Atau apakah gejala ini cara mudah mengumpulkan uang karena sulitnya lapangan pekerjaan, atau memang trend baru memanipulasi diri daripada jadi pengemis dan peminta-minta.

Lalu indikator ketiga soal karakter dan disiplin bisa dilihat dari tata kelola parkir. Di tulisan lain nanti saya akan membahas soal parkir dan hitung-hitungannya sebagai penyumbang pendapatan asli daerah. Di tulisan ini saya hanya menggambarkan tata kelola parkir begitu amburadul bahkan dari walikota sebelumnya. Target capaian tak jelas, konflik lapangannya sangat tinggi.

Saya hanya mau menyampaikan kepada walikota dan wakil walikota Medan bahwa saat ini di semua ruas jalan tiba-tiba sudah ada petugas parkir dadakan. Fenomenanya sama dengan pengatur lalu lintas gadungan tadi. Coba la sesekali Pak Wali dan Pak Wakil pergi ke jalan kecil di pelosok-pelosok kota, tiba tiba saat mobil mau dijalankan sudah muncul tukang parkir. Dan tarif 5.000 per sekali parkir ini jadi harga mati. Sekali lagi tentang ini, apakah memang karena sulitnya mencari pekerjaan ataukah karena Medan jadi kota barbar. Premanisme berkedok tukang parkir muncul dimana-mana. Dan ramai.

Ini jadi masalah sosial. Meresahkan dan membuat situasi kota Medan menjadi tak nyaman. Sekali lagi bukan soal kita tak mau mengeluarkan uang 5.000 tapi soal keteraturan dan manfaat layanan yang diberikan.

Retribusi parkir itu kita bayar karena menggunakan fasilitas yang disediakan Pemko Medan dan tentu saja kutipan itu harus masuk ke kas Pemko. Problemnya itu tadi, kita sudah sulit mendeteksi siapa petugas parkir legal dan ilegal serta wilayah dan rute jalan mana saja yang bebas parkir. Lama-lama parkir di depan halaman rumah kita sendiri pun dikutip parkir. Mereka jadi parkir siluman

Semua fenomena yang dijelaskan menjadi gambaran minimnya kesadaran pada aturan dan kesantunan. Bahkan sudah menjadi karakter sehari-hari.

Saya kira ini jadi tugas berat mendisiplinkan warga. Kalau ditanya bagaimana caranya? Saya pun sulit menjawab. Apalagi melawan arah lalu lintas sudah jadi budaya. Begitu juga polisi cepek (istilah buat pengatur lalu lintas dadakan) dan tukang parkir gadungan.

Kalaupun mau mencoba mengurai masalah ini setidaknya dengan dua pendekatan, pertama tentu dengan imbauan dan memberi contoh. Saya bukan fans Gubernur Jawa Barat atau Gubernur Maluku Utara. Tapi setiap hari diluar dinas kantor mereka berkeliling mengitari warga sampai malam dan menemukan banyak persoalan, kemudian menyelesaikannya. Bukan hanya walikota dan wakil walikota Medan saja, tentu seluruh satuan kerja perangkat daerah juga harus menjadi teladan berkendara dan berdisiplin dimana saja. Bisa juga memantik menghadirkan komunitas gerakan berantas lawan arah misalnya. Komunitas ini adalah voluntir yg bergerak di semua ruas jalan dan menghalau orang yang melawan arah.

Cara kedua adalah dengan tindakan tegas. Jangan harap imbauan saja atau cukup mencontohkan lalu praktik-praktik tadi hilang. Medan ini tak cukup dengan imbauan dan sosialisasi. Koordinasi antara Pemko dan petugas kepolisian diperlukan menertibkan Medan ini.

Lucunya, kalau warga Medan pergi ke Singapura atau Malaysia mereka bisa disiplin ikut aturan. Nah begitu juga kalau warga negara tetangga yang datang liburan ke Medan, malah ikut- ikutan gaya anak Medan berkendara, melawan arah, klakson tak berhenti dan menerobos lampu lalu lintas.

Pak Wali serta Pak Wakil Walikota yang terhormat, tiga fenomena tadi belum membahas tingkat kriminalitas di Medan, seperti begal dan tawuran yang sudah dilakukan terang benderang di siang hari.

Saya miris menyaksikan satu video Tiktok seorang wisatawan Malaysia yang menceritakan betapa banyaknya lokasi belanja di Medan. Tapi hati-hati kota ini juga banyak ‘ragut’ bahkan di siang hari, katanya di video singkat tersebut. Ragut itu adalah rampok, jambret, begal, dll. Walaupun kemudian di video itu dia ceritakan tentang Pajak Ikan Lama, makan nasi Padang, belanja oleh-oleh sampai balik ke bandara. Artinya jangan sampai citra buruk Medan ini menyebar pula ke negeri tetangga.

Coba perhatikan setiap hari di jalanan Medan ini ada caci maki, pertengkaran bahkan perkelahian di jalan raya. Sungguh kita kehilangan karakter sebagai warga yang santun. Kalau mau menilai kota nilailah lalu lintasnya dan keteraturan serta kesantunan warganya. Bagaimana Pak Wali dan Pak Wakil? Terniat tidak membangun karakter, disiplin, tata krama dan kesantunan warga kota yang kian miris ini?