JAKARTA, kaldera.id – Rancangan Undang-undang/ RUU Ketahanan Keluarga memberikan jatah cuti hamil bagi perempuan pegawai instansi atau badan usaha pemerintah selama enam bulan.
Hak tersebut dijamin dalam pasal 29 ayat (1). Selain cuti hamil, pasal itu juga menjamin hak perempuan pekerja untuk menyusui dan mendapat bantuan pengasuhan anak selama bekerja.
Pasal 29 ayat (1) RUU Ketahanan Keluarga Berbunyi:
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memfasilitasi istri yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan:
a. hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam) bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya;
b. kesempatan untuk menyusui, menyiapkan, dan menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja;
c. fasilitas khusus untuk menyusui di tempat kerja dan di sarana umum; dan
d. fasilitas rumah Pengasuhan Anak yang aman dan nyaman di gedung tempat bekerja.
Jumlah ini dua kali lipat dari jatah yang diberikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada UU itu, cuti hamil diberikan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
Selain untuk perempuan, RUU Ketahanan Keluarga juga menjamin hak laki-laki pegawai instansi atau badan usaha pemerintah untuk mendapat cuti saat istrinya melahirkan, istri atau Anaknya sakit atau meninggal. Namun aturan pada pasal 29 ayat (2) itu tak menyebut jumlah jatah cuti yang diberikan untuk laki-laki pekerja.
Isi Pada Pasal 134
Sementara untuk perempuan pekerja swasta, hak cuti diatur dalam pada pasal 134. Namun tak ada kewajiban sebagaimana diterapkan untuk para pegawai pemerintah.
Pasal 134 hanya mengatur peran pelaku usaha dalam mendukung ketahanan keluarga. Salah satunya berhak memberi hak cuti kehamilan selama enam bulan.
“Dapat memberikan hak cuti melahirkan selama 6 (enam) bulan kepada pekerjanya, tanpa kehilangan haknya atas posisi pekerjaannya,” bunyi pasal 134 huruf b.
RUU Ketahanan Keluarga telah masuk dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. RUU ini juga masuk dalam daftar 50 RUU pada Prolegnas Prioritas 2020.
Pengusul RUU ini adalah Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, dan Ali Taher Parasong dari Fraksi PAN. Namun belakangan Fraksi Golkar menarik dukungannya karena kontroversi yang timbul. (dhf/gil/cnn/finta rahyuni)