MEDAN, kaldera.id – Kepala Kejaksaan Negeri Langkat Mei Abeto Harahap, SH,MH menjadi pemateri pada acara Jaksa Daring yang disiarkan LIVE lewat akun media sosial IG @kejatisumut dengan dipandu Jaksa Fungsional Joice V Sinaga, SH mengusung topik tentang Restorative Justice, Kamis (12/1/2023).
Kejari Langkat menjadi peringkat I capaian kinerja bidang Pidum pada acara Rakerda Kejati Sumut 2022 dan peringkat II Nasional Penyelesaian Perkara Pidum terapkan RJ pada Rakernas Kejaksaan RI Tahun 2023. Tahun 2022 lalu, Kejari Langkat juga memperoleh peringkat II Nasional Hentikan Penuntutan Perkara dengan RJ.
Dalam paparannya, Mei Abeto Harahap menyampaikan, terkait perkara yang sudah dihentikan di wilayah hukum Kejati Sumut, khususnya Kejari Langkat sudah ada 20 perkara yang dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ.
“Sebenarnya, perkara yang diajukan ada 23 perkara. Tapi pada akhirnya yang berhasil disetujui dan dihentikan penuntutannya 20 perkara pidana umum,” kata Mei Abeto Harahap.
Menepis adanya anggapan dari beberapa kalangan terkait penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ ini, Kajari Langkat Mei Abeto Harahap menyampaikan bahwa dalam hal penentuan dan pemilihan perkara yang bisa dihentikan dengan pendekatan RJ harus mengikuti proses panjang dan usulannya disampaikan secara berjenjang.
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif
Lebih lanjut Mei Abeto menyampaikan, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 Perja Nomor 15 Tahun 2020, kewenangan Penuntut Umum dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan: kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respon dan keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Penuntut Umum dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif juga dilakukan dengan mempertimbangkan: subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana; tingkat ketercelaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; cost and benefit penanganan perkara; pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
“Hal lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan keadilan restoratif adalah adanya syarat pokok yang harus terpenuhi, diantaranya: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,” tandasnya.
Penerapan restorative justice sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam penyelesaian perkara pidana, papar Mei Abeto Harahap didasarkan atas beberapa kebijakan yaitu: pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation).
“Melalui pendekatan keadilan restoratif korban dan pelaku tindak pidana diharapkan dapat mencapai perdamaian dengan mengedepankan win-win solution, dan menitikberatkan agar kerugian korban tergantikan dan pihak korban memaafkan pelaku tindak pidana,” kata Mei Abeto.
Dalam hal penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ, jelas Mei Abeto ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Ada banyak aspek yang perlu menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum untuk melakukan penghentian penuntutan, salah satunya adalah alasan kemanusiaan dan rasa keadilan yang sesungguhnya.
Usulan terhadap sebuah perkara, lanjutnya dilakukan secara berjenjang mulai dari JPU ke Kasi Pidum, kemudian diusulkan ke Kajari dan Kajari mengusulkan ke Aspidum dan selanjutnya diusulkan Wakajati dan ke Kajati. Dalam proses pengusulan ini, beberapa hal terkait perkara, tersangka dan korban menjadi perhatian penting. Setelah nantinya diusulkan dan dilakukan ekpose secara daring dihadapan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), maka penentuan akhirnya adalah ketika perkara itu disetujui atau tidak untuk dihentikan. Kalau disetujui, maka perkaranya dihentikan. Apabila tidak disetujui, maka perkaranya dilanjutkan.
“Sebuah perkara bisa dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ setelah mendapat persetujuan secara berjenjang hingga keluar surat pernyataan dari JAM-Pidum yang menyatakan disetujuinya penghentian perkara tersebut dengan pendekatan keadilan restoratif,” tegasnya.
Penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ ini juga menjadi terobosan Kejaksaan dalam menciptakan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat. Penyelesaian perkara melalui pendekatan restorative justice ini terbukti akhir-akhir ini telah mendapat respons yang sangat positif baik dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pelaku dan korban, keluarga pelaku, keluarga korban juga dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat, terlebih lagi apabila hubungan mereka yang terlibat perkara memang bersaudara, bertetangga atau masih ada hubungan keluarga bisa harmonis kembali.
Pada acara Jaksa Daring tersebut, Mei Abeto juga banyak mendapat respon dan pertanyaan terkait pelaksanaan RJ.(efri/red)