Duh… Pak Bobby, Lihatlah Medan Yang Makin Berantakan

Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – POTRET Medan terkini memang  berantakan, amburadul dan semrawut akibat berbagai proyek galian drainase, pembangunan jembatan, underpass serta perbaikan jalan dikerjakan serentak.

Ternyata protes masyarakat terhadap akitivitas ini sudah cukup banyak, tak terhitung bahkan. Terakhir demonstrasi langsung yang digelar mahasiswa dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Seluruh Indonesia (SI) awal bulan ini. Mereka medatangi kantor walikota.

Perwakilan dari beberapa kampus seperti dari Unimed, Polmed, Universitas Cut Nyak Dhien, Dharmawangsa dan PTKI menyoroti isu lingkungan dan kriminalitas yang kian tak terkendali. Presiden Mahasiswa Politeknik Negeri Medan Muhammad Rizqy Akbar mengatakan mereka membutuhkan jawaban konkrit dari Walikota Medan Bobby Nasution. Dia mengambil kasus yang dialami masyarakat kota Medan saat ini yang kerap merasakan banjir, proyek drainase, mencuatnya kriminalitas, dan lain-lain.

“Kita di sini punya tujuan, yaitu tetap bersama untuk menyampaikan aspirasi. Bobby masih melakukan kebohongan, bahwa kenyataannya Medan masih banjir ketika turun hujan. Banyak masyarakat terkendala hanya karena banjir. Kami menyarankan Bobby mengakui bahwa janji kampanyenya belum bisa diselesaikan,” ucap Rizqy seperti diberitakan idntimes.

Tentu aksi seperti ini tak akan mendapatkan jawaban atau respon aktif dari walikota Medan. Bukan hanya mahasiswa, berkali-kali warga mengeluh meminta agar pembangunan drainase dan seluruh proyek dibuat terjadwal tak dihiraukan walikota kita ini. Ujungnya cuma satu: minta maaf. Katanya sementara ini akan macet tapi ke depan akan lebih baik.

Padahal bukan problem ke depan yang dipersoalkan warga saat ini. Tapi tata kelola pembangunan yang tak memikirkan dan mempertimbangkan efek dari semua proyek. Kenapa tidak mempertimbangkan level kemacetan yang parah atau memperbaiki jalur-jalur  alternatif yang seharusnya bisa digunakan memperlancar arus lalu lintas.

Kalau dengan cara pembangunan sekarang, saya kira tak perlu punya kecerdasan intelektual dan emosional untuk menjadi walikota. Pokoknya mana yang mau digali, ya gali saja, mana yang mau dibangun ya sudah bangun saja tanpa memikirkan masyarakat dan dampak lingkungannya.

Di media sosial, bertaburan komplen masyarakat atas pembangunan tersebut. Bahkan salah satu yang viral minggu lalu seorang pengendara sepedamotor yang berteriak-teriak karena harus mengejar waktu namun lebih dari satu setengah jam di atas motornya tak sampai juga ke tujuan.

Proses pembangunan jembatan dan galian drainase seperti cerita sinetron. Terus tersambung dan kini sudah menyentuh wilayah Medan Sunggal. Bahkan inti kota pun menjadi sasaran galian proyek drainase. Jadi tentu saja kemacetan pun akan menjadi pemandangan ‘indah’ sehari-hari kalau dilihat dari kantor walikota.

Sebenarnya setelah demo aksi mahasiswa BEM SI itu kebetulan saya masuk ke salah satu kelas dan bertemu dengan yang berunjukrasa. Saya menanyakan ke mereka apa maksud demo tersebut. Jawabannya simpel: kami melihat pembangunan dan tata kelola Medan ini makin berantakan dan meresahkan warga. Aksi unjukrasa ini sebagai penyambut lidah rakyat untuk meneruskan keluhan warga, katanya.

Syukurlah masih ada suara mahasiswa yang seperti ini. Karena dalam jangka pendek tidak ada solusi apapun yang ditawarkan Pemko Medan untuk mengatasi persoalan yang ada. Yang selalu disampaikan adalah Medan sedang membangun, Medan sedang menyelesaikan problem banjir. Tapi fasilitas dan layanan publik jauh dari harapan. Pak Bobby boleh membangun apa saja di Medan ini termasuk untuk proyeksi pengendalian banjir jangka panjang, mengatasi kemacetan, membangun tugu taman di beberapa ruas jalan yang tak tahu gunanya apa karena malah menyempitkan jalan. Tapi jangan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Sebaiknya Pemko Medan memperbaiki jalan-jalan yang rusak untuk memperlancar arus lalu lintas, serta mengaspal serta melebarkan sedikit jalan-jalan alternatif sebagai imbas dari penutupan arus lalu lintas di jalan protokol. Ini mengaspal jalan di depan rumah dinas gubernur saja (Jl. Sudirman) butuh waktu berhari-hari dan kini selalu macet. Masa iya di inti kota itu pun tak bisa Pak Walikota perhatikan. Untung saja di rumah dinas gubernur bukan Pak Edy Rahmayadi lagi. Kalau tidak pasti akan ada respon reaktif yang muncul atas pembangunan jalan inti kota itu.

Sempat sebenarnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai proyek drainase yang tengah dikerjakan oleh Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan. Muhammad Alinafiah Matondang selaku Kepala Divisi Sumber Daya Alam (SDA) LBH Medan mengatakan proyek yang ditujukan untuk mengatasi banjir tersebut menyebabkan kemacetan lalu lintas. Dampak yang ditimbulkan tersebut melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan lingkungan yang baik dan sehat. Hal itu diatur di pasal 28 H ayat (1) Amandemen UUD 1945.

Tapi iyalah, pak wali. Bicara hukum pun seperti pendapat LBH ini sering jadi garing. Ingat tampuk kekuasaan berganti. Tak ada rezim yang abadi. Situasi politik menjelang 2024 masih penuh intrik dan jungkir balik. Dengarkan dan respon suara rakyat. Oiya sebelum lupa, bagaimana kabar lampu pocong itu masih tetap berdiri tegak sepertinya?