Kemudian mewajibkan Presiden untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan dirinya secara tidak hormat sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022.
Serta mewajibkan Presiden untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan dirinya sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.
Evi juga menjelaskan, bahwa kekurangan yuridis yang essential dari Putusan DKPP 317/2019 adalah karena mengkhianati tujuan dari Putusan DKPP yaitu untuk menyelesaikan perselisihan etika antara Pengadu dan Teradu sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu.
Serta karena DKPP mengkhianati prinsip keramat penyelesaian perselisihan yaitu asas audi et alteram partem atau kewajiban menggelar sidang pemeriksaan perselisihan demi mendengar semua pihak yang berselisih dan berkepentingan.
“Putusan DKPP 317/2019 amar nomor 3 yang memberhentikan saya sebagai Anggota KPU, ditetapkan DKPP tanpa memeriksa Pengadu maupun saya selaku Teradu. Saya bertanya-tanya, apakah ada prosedur penyelesaian perselisihan etika di DKPP selain dari prosedur yang berpedoman kepada prinsip audi et alteram partem,” ucapnya.
“Yaitu UU No 7/2017 tentang Pemilu, Peraturan DKPP No 3/2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana diubah dengan Peraturan DKPP No 2/2019 menganut prinsip audi et alteram partem secara tersurat lagi tegas,” Sambungnya.
Evi menerangkan kembali bahwa pengadu sudah mencabut pengaduan di sidang pertama dan pengadu tidak bersedia lagi hadir dalam sidang kedua.
“Pengadu tidak pernah memberi keterangan dibawah disumpah dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 31 ayat (4) huruf b Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019. Pengadu juga tidak mengajukan alat bukti surat yang disahkan dimuka persidangan, maupun saksi dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 458 ayat (7) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 31 ayat (5) Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019,” ujarnya.