DPR Panggil Menaker, Imbas Aturan JHT Cair di 56 Tahun

Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR mengkritik penetapan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan pada usia 56 tahun.
Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR mengkritik penetapan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan pada usia 56 tahun.

MEDAN, kaldera.id – Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR mengkritik penetapan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan pada usia 56 tahun.

Wakil Ketua Komisi, Emanuel Melkiades Laka Lena, menyebut komisi sedang mengagendakan pertemuan dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah untuk membahas masalah ini. “Kami sudah bahas dan lagi atur waktunya soal ini,” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini saat dihubungi, Minggu, 13 Februari 2022.

Sebelumnya, aturan baru soal JHT ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Beleid yang disahkan pada 4 Februari 2022 kemudian menuai polemik di masyarakat.

JHT akan dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun. Aturan ini mengikat tiga jenis peserta yaitu yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Anggota Komisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani meminta pemerintah mengkaji ulang, bahkan mencabut aturan ini. Ia mengkritik tiga jenis peserta yang menerima konsekuensi aturan ini.

Dari data BPJS Ketenagakerjaan pada Desember 2021, Netty menyebut total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya 3 persen. Sedangkan, pengunduran diri bisa mencapai 55 persen dan PKH 35 persen. “Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja,” kata dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul Wafiroh menyebut Permenaker Nomor 2 ini sebenarnya bertujuan untuk mengembalikan fungsi esensi dari JHT tersebut. “Ini untuk memastikan seluruh pekerja kita tidak mengalami kesulitan finansial, terutama saat tua,” kata dia.

Sebab di sisi lain, pemerintah juga sudah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan diluncurkan 22 Februari mendatang. JKP inilah yang bisa dicairkan ketika seorang pekerja misalnya terkena PHK.

Untuk itu, Nihayatul meminta agar fungsi awal JHT ini dikembalikan seperti sedia kala, yaitu menjamin hari tua pekerja. “Kalau bisa langsung dicairkan, namanya bukan JHT dong,” kata dia.

Anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mendapat informasi kalau pemerintah tak ingin terjadinya klaim ganda antara JHT dan JKP. Tapi Ia mempertanyakan, apakah JKP bisa langsung diberlakukan karena payung hukumnya adalah UU Cipta Kerja.

“Bukankah Permenaker ini dikeluarkan setelah Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat?” kata dia.

Ia pun juga mempertanyakan apakah pekerja yang memang kesulitan, bisa menerima JKP dan JHT sekaligus. Untuk itu, Ia menilai kebijakan ini kurang sosialisasi. “Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait,” kata dia.

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari sudah memberi penjelasan soal JKP yang akan segera berjalan ini. Korban PHK, kata dia, diharapkan memanfaatkan program ini ketimbang mengambil dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan. “JKP akan segera berjalan. Kick off di 22 Februari nanti,” kata Dita saat dihubungi pada Sabtu, 12 Februari 2022.

Menurut dia, saat JKP tidak ada, buruh korban PHK banyak berharap menopang hidup dengan mencairkan dana JHT. Dengan adanya program JKP, buruh diharapkan tidak perlu mengambil dana jaminan hari tua tersebut. (tempo)