Pak Wali, Kalau Medan Macet Begini Hitungannya

Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – SEJUJURNYA tulisan pekan lalu berjudul surat terbuka untuk walikota Medan tidak punya tendensi apa-apa. Walau banyak yang bertanya ada apa sebenarnya dengan tulisan tersebut.

Sejujurnya sudah saya sampaikan hanya karena melihat dari sisi layanan publik saja. Mumpung KTP saya masih di Medan, adalah wajar jika warga memberi masukan kepada walikotanya.

Faktor utama yang melatari tulisan tersebut sebenarnya hanya karena semrawutnya pengerjaan galian drainase dan revitalisasi jembatan yang dilakukan.

Tidak terjadwal, tidak disosialisasikan, tidak ada public hearing, tidak ada respon atas keluhan ibu-ibu yang warungnya harus tutup atau juga keberatan penduduk yang bangunannya rusak akibat semua galian itu.

Artinya tata kelola layanan publik dalam pengerjaan tidak memikirkan kebutuhan dasar masyarakat terkait kelancaran lalu lintas.

Kita ini memang harus sadar bahwa kita rakyat biasa. Semua manut apapun yang disampaikan.

Bahkan kalau kita lihat di sisi-sisi galian drainase yang dibangun muncul foto walikota dan wakil walikota dengan tagline kolaborasi Medan berkah selanjutnya ada tulisan ‘mohon maaf’. Sekali lagi kita ini rakyat, jadi kalau pemerintah ‘minta maaf’ harus kita terima.

Kalau pun tak kita terima maaf itu, semua akan tetap berjalan sesuai kebijakan. Bahkan berkali-kali minta maaf pun kita tetap harus terima.

Begitu beda rakyat dengan penguasa. Coba kalau rakyat yang minta maaf ke penguasa, belum tentu diterima.

Ujung-ujungnya bisa ke ranah hukum. Padahal sebenarnya yang kita minta dari tata kelola layanan publik ada standar minimum pelayanan.

Sebenarnya kalau masuk di budaya korporasi ada yang namanya standar servis minimum. Jadi ketika itu dilanggar konsumen berhak menuntut.

Di pemerintah daerah, aturan soal standar pelayanan minimum ini baru sebatas UU saja. Kita sebenarnya punya UU standar pelayanan minimum dalam amanat UU No. 23/2014 diikuti dengan berbagai peraturan pemerintah menyangkut berbagai hal.

Tapi kalau dibaca, untuk pelayanan publik masih banyak yang harus diperhatikan. Itu sebabnya ketika pemerintah ‘meminta maaf’, cukuplah memang kita maafkan.

Sama kalau kita misalnya melihat apa yang sekarang sedang terjadi di kota kita ini. Coba kita ulang-ulang sedikit.

Pengalihan berbagai arus lalu lintas yang dilakukan beberapa waktu lalu buktinya sampai sekarang tidak efektif mengurai kemacetan. Memindahkan kemacetan dari satu titik saja ke ke titik lain.

Dulu ujung Jl. Amir Hamzah sampai simpang Jl. Putri Hijau arah Brayan misalnya tak terlalu macet. Sekarang setiap hari pasti macet. Begitupula dengan Jl. HM Yamin, sama saja. Jadi mana efektifitas pengalihan arus lalu lintas.

Bagaimana kita mau mengurai kemacetan lalu lintas sementara jumlah kendaraan terus bertambah dan ruas jalan itu-itu saja. Ibarat bus yang penuh kita hanya mengatur-atur kursi sehingga ada yang duduk dan berdiri. Sama dengan kondisi lalulintas di Medan sekarang.

Di tahun 2015 dan 2016 sebenarnya ada dua jurnal penelitian yang menurut saya menarik. Mengkaji tentang biaya tambahan yang harus dikeluarkan semua kendaraan tiap terjadi kemacetan.

Penelitian yang dilakukan Suci Susanti dan Maria Magdalena mengungkapkan biaya kemacetan di Kota Medan itu Rp85,36 juta per hari atau setara Rp22,5 miliar per tahun.

Kemudian penelitian Yusuf Aulia Lubis menunjukkan untuk kemacetan di Jl. Setia Budi terutama di persimpangan ujung Jl. Dr Mansyur adalah Rp1.530 per kilometer per kendaraan. Coba dikalikan dengan jumlah kendaraan yang lewat di situ.

Kenapa macet dan memunculkan cost? Karena seharusnya rata-rata kecepatan kendaraan di ruas jalan itu bisa di posisi 22,92 km/jam namun kemudian melambat menjadi 5,24 km per jam. Dan itu pun sekarang sama-sama kita rasakan saban pagi, sore hingga malam.

Jika itulah gambaran cost kemacetan dengan situasi infrastruktur normal. Bisa dibayangkan bagaimana dengan ruas jalan yang sekarang digali sana-sini.

Galian drainase dan revitalisasi jembatan seperti tancap gas. Efektivitas galian drainase memang belum bisa kita lihat maksimal sekarang.

Hasil sementara dan to the point dari galian adalah kemacetan dan kebingungan mencari jalan alternatif agar sampai tujuan. Karena dikerjakan bersamaan kita pun bingung mau lewat mana lagi. Kita terima saja kata ‘maaf’ tanpa tuan yang terpampang di jalanan.

Intinya kita punya poin dan nilai masing-masing bagaimana walikota kita sekarang menyusun tata kelola pembangunan yang berhubungan dengan layanan publik. Semoga nanti entah berapa tahun ke depan galian ini memang mampu mengatasi banjir. Kalau tidak juga, sudahlah…!