Dewi Juita Purba
Dewi Juita Purba

MEDAN, kaldera.id- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) BPD Sumut menolak pemberlakuan CHSE (cleanliness, health, safety, environment sustainability) sebagai sertifikasi mandatori yang dilakukan berulang.

Ketua PHRI BPD Sumut Denny S Wardhana melalui sekretarisnya Dewi Juita Purba menyampaikan menolak CHSE karena kelak akan menjadi kewajiban para pengusaha hotel.

Dewi Juita Purba mengungkapkan hal itu kepada media di Medan, Sabtu (25/0/2021), setelah mendapatkan hasil rapat koordinasi pembukaan pariwisata Bali. Dalam salah satu poin yang dimunculkan dalam rapat koordinasi tersebut tepatnya poin 4 butir B disebutkan Kemenparekraf dan BSN agar memastikan sertifikasi CHSE mandiri dapat segera terlaksana melalui OSS dan Komite Akreditasi Nasional dengan meningkatkan jumlah lembaga sertifikasi untuk memenuhi target sejumlah 1.200 usaha yang tersertifikasi.

Menurut Dewi Juita Purba, dalam rapat koordinasi itu dimunculkan agar CHSE terlaksana melalui OSS. Dia mengatakan ingin menyampaikan aspirasi para pengusaha hotel dan restoran agar sertifikasi CHSE jangan memberatkan.

Dewi Juita Purba mengatakan hotel dan restoran sudah memiliki standar usaha amanah UU 10 tahun 2009. “Apa yang dicheck list CHSE sudah ada semua dalam sertifikasi usaha hotel dan restoran. Khusus untuk masalah covid, sdh diatur dalam KMK 328 & 382 tahun 2020.”

Dia menegaskan penetapan CHSE masuk ke dalam OSS dan aplikasi peduli lindungi pasti memberatkan sektor pariwisata khususnya hotel dan restoran di tengah keterpurukan akibat adanya pandemi. “CHSE merupakan program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diperuntukkan pada 13 sektor usaha pariwisata dengan jumlah yang akan disertifikasi 15.000 perusahan. Hal ini akan menjadi kesenjangan dikala ada yang tidak kebagian dan harus bayar untuk mendapatkannya.”

Biaya yang mahal, katanya, dikeluarkan oleh Kemenparekraf untuk program sertifikasi mandiri CHSE. Menurut PHRI kebijakan itu tidak serta merta mempengaruhi pasar dan tidak bermanfaat dikala penetapan PPKM berbasis level. Sebagai informasi, jumlah usaha hotel saja diseluruh Indonesia adalah 29.000.

“Kita lihat sejauh ini sektor hotel dan restoran baru akan pulih. Kemudian CHSE yang diperoleh sekarang masih gratis. Kalau kemudian menjadi ketentuan dan harus diperpanjang sekali setahun sangat membebani,” jelasnya.

Dia mengatakan kewajiban membayar biaya CHSE Rp12 juta per tahun. Dewi Juita Purba mengatakan sudah menyampaikan hal ini juga ke BPP dan mendapat respon karena memang sudah dibahas lewat zoom meeting PHRI se-Indonesia kemarin.

“Kita berharap sebenarnya setiap regulasi apalagi yang dilakukan pasca pandemi tidak sampai membebani para pengusaha. Karena kan sebenarnya hotel juga sudah punya persyarakan laik sehat dan sertifikasi usaha yang memeriksa hal yang sama pula dengan yang ada di CHSE,” kata dia.

“Jadi ini benar-benar bisa menambah beban hotel kalau diterapkan. Dan catatan pentingnya sertifikat ini berlaku setahun saja. Biayanya cukup mahal karena dibanderol Rp12 juta,” kata Dewi.
Memang sekarang, kata Dewi Juita Purba, sertifikat CHSE masih dikasi gratis oleh Kemenpar tentu dengan kuota terbatas juga. “Setelahnya harus bayar sendiri. Untuk bayar fix cost saja kita sudah ngos-ngosan apalagi bayar yang lain-lain. Belum lagi misalnya jika harus mengeluarkan biaya promosi pasca pandemi. Untuk menggarap tamu-tamu yang datang setelah pandemi ini reda, tentu setiap hotel biaya promosi. Ini yang harus difikirkan juga,” jelasnya.

Menurut dia, tentu saja sertifikasi itu penting untuk menjadi jaminan kebersihan dan standar kesehatan tapi jangan sampai membebani. “Kita tahu apa yang dihadapi pelaku usaha saat ini baru berusaha untuk bangkit. Jika kemudian sertifikasi CHSE membebani sebagai efek ikutan pandemi pasti menyulitkan,” katanya.

Dia sebenarnya berharap kalaupun ada proses sertifikasi terkait CHSE jangan menjadi beban usaha sektor pariwisata. Terkait kondisi ini banyak BPD di Indonesia juga sudah berkomunikasi ke BPP untuk turut bersuara, kata Dewi Juita Purba.

“Iya kita sudah berkomunikasi ke BPP mudah-mudahan ada solusi terbaik jangan sampai nanti setelah pandemi banyak sekali persyaratan, regulasi dan izin yang malah menambah beban. Padahal kita tahu kondisi belum benar-benar pulih,” ujarnya.(armin nasution)